Minggu, 20 Mei 2012

HAKIKAT PENDIDIKAN


Oleh : GUNAWAN MANALU
NIM :   309122023
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI SOSIAL

I.       Pendahuluan
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita insan manusia. Pendidikan pasti dan sangat diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Mungkin banyak kalangan yang menganggap bahwa pendidikan hanya sebatas proses belajar yang terjadi di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan saja. Saya berpendapat bahwa anggapan tersebut masih kurang kompleks. Fakta membuktikan bahwa pendidikan dapat kita peroleh dari berbagai tempat atau dan cara. Seperti halnya para ilmuwan dan tokoh-tokoh atau ahli dalam suatu penemuan. Thomas Alva Edison adalah salah satu ilmuwan dunia yang mengalami banyak kegagalan dalam pekerjaannya untuk menghasilkan cahaya melalui bola lampu, yang kita kenal dengan lampu pijar. Saya pernah mengingat bahwa Thomas pernah bersekolah namun tidak begitu lama dan hanya hitungan bulan karena dikeluarkan oleh Gurunya dengan alasan sering tertinggal dan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki bakat. Sehingga Thomas belajar dirumah saja diajari  oleh Ibunya yang kebetulan saat itu berpropesi sebagai seorang Guru. Sebenarnya Thomas memiliki kemauan yang cukup tinggi, hanya saja mungkin Gurunya pada saat itu tidak mengetahuinya. Terbukti bahwa dalam kehidupannya Thomas selalu ingin mencoba. Thomas menggunakan banyak waktunya untuk melakukan percobaan mengenai suatu hal. Dalam percobaannya, dia selalu mengalami kegagalan yang bahkan ratusan sampai ribuan kali. Tapi walaupun gagal, dia selalu mempunyai cara atau metode yang lain. Alhasil berkat semangat dan pengetahuan yang dimiliki, Thomas pun berhasil menemukan lampu pijar.
Sebenarnya banyak penemuan yang dihasilkan oleh tokoh dunia ini, tetapi yang paling terkenal adalah lampu pijar karena merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seluruh dunia. Perlu kita ketahui bahwa Thomas tidak tergantung pada suatu tempat saja untuk melakukan eksperimennya, melainkan diberbagai tempat yang memungkinkan kelancaran proses eksperimennya tersebut. Dari kisah singkat itu dapat kita mengerti bahwa pendidikan bukan hanya dapat kita peroleh dari sekolah saja, tetapi juga dilingkungan alam semesta.

II.    ISI dan PEMBAHASAN
Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu Paedos  yang berarti anak, dan agoge yang berarti memimpin. Jadi secara etimologi, pendidikan berasal dari kata Paedagogia yang mengandung arti memimpin dan atau membimbing  anak. Tahap pendidikan yang dijalani oleh seorang anak dapat diuraikan sebagai berikut:
        i.            Lingkungan Keluarga
Pendidikan pertama dan yang utama akan diporoleh oleh setiap individu dalam lingkungan keluarga intinya. Dari sejak lahir, setiap individu telah mendapatkan pendidikan yang istimewa dari kedua orang tua dan saudara kandung. Pendidikan bukan hanya berarti menimba ilmu dilingkungan sekolah atau instansi juga lembaga pendidikan formal saja, melainkan “Pendidikan itu sesungguhnya adalah proses mempelajari dan mengetahui apa yang sebelumnya diketahui tanpa tergantung pada suatu tempat atau lokasi tertentu”. Dengan demikian pendidikan bukan hanya kita dapatkan dari sekolah saja, tetapi juga dari keluarga, orang lain atau teman, lingkungan sekitar dan  masyarakat. Dilingkungan keluarga, seorang anak akan mendapatkan banyak pendidikan, baik dalam berbicara, rohani atau spiritual, bergaul, moral dan tingkahlaku, norma, dan juga  ilmu pengetahuan. Sebelum seseorang terjun kedunia luar keluarganya, alangkah sangat baiknya apabila telah dibekali dengan berbagai pendidikan dari dalam keluarganya. Dengan demikian maka seseorang itu akan lebih mudah dalam bersosialisasi dengan lingkuangan yang akan dihadapinya.
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, pendidikan dikenal dengan istilah Pangajaron, yang mengandung arti cukup luas, seperti : mengajarkan moral, mengajarkan tingkahlaku, mengajarkan kesopanan, mengajarkan nilai-nilai, mengajarkan ilmu pengetahuan, mengajarkan pengembangan bakat/minat, menndidik agar tidak berbuat penyimpangan social, dan lain sebagainya. Sehingga apabila ada seorang anak Batak Toba yang berbuat penyimpangan social atau berbicara tidak sopan, orang lain akan berkata “Naso diajari amangna do haroa i”, dengan kata lain “sepertinya dia tidak diajari Bapaknya”. Dari contoh tersebut dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan moral dan tingkahlaku seorang anak bukan didapat untuk pertamakalinya dari luar rumah tangga, tetapi dimulai dari dalam keluarganya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa pendidikan pertama dan yang utama diperoleh dari dalam keluarga.

      ii.            Lingkungan Teman Bermain (teman sebaya)
Setelah keluarga, agen pendidikan berikutnya adalah teman bermain atau teman seusia. Dalam lingkungan teman bermain, seorang anak akan mulai menghargai orang lain. Biasanya seorang anak yang dididik secara mantap dalam keluarga akan merasa rugi jika dia kehilangan teman bahkan akan menjaga sebaik mungkin agar dia tidak kehilangan teman. Dilingkungan tersebut sang anak juga akan mempelajari banyak hal yang dapat mengembangkan kognitif dan afektifnya bahkan psikomotorignya. Seperti: seorang anak akan memikirkan hal-hal yang dapat membuat teman-temannya senang kepadanya, maka dia kan menghargai temannya, tidak menyakiti teman dan sebagainya. Dalam lingkungan bermain, sekelompok anak akan membuat suatu aturan yang tidak bisa dilanggar oleh anggota kelompoknya, apabila dilanggar maka akan diberikan hukuman. Dari situ anak akan belajar menghargai dan menjalankan aturan dan akan bertingkahlaku sesuai aturan. Seorang anak yang tidak menginginkan kehilangan teman akan berusaha agar temannya menyenanginya. Maka tidak jarang seorang anak akan meminta kepada orang tuanya, atau bahkan mungkin membuat sendiri mainan yang dapat digunakan untuk menghibur teman-temannya.
Namun tidak sedikit juga anak-anak yang suka menciptakan keributan dalam kelompok teman sebayanya. Saya berpendapat hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh anak yang sering menyaksikan pertengkaran antara kedua orangtuanya dan atau kakaknya, pengawasan yang tidak maksimal dari orangtua, seperti membiarkan atau tidak mencegah agar anaknya menonton film yang menayangkan adegan-adegan yang seharusnya ditonton oleh orang dewasa (film yang menayangkan adegan perang, mafia/perampok, pemberontakan, dan sebagainya), orangtua yang tidak serius dalam mendidik anak, misalnya: orangtua yang hanya memberikan waktu yang minim untuk bersama anak-anaknya, dan lain sebagainya. Maka dengan demikian tidak dapat disangkal lagi bahwa orangtua sangat berpengaruh dalam kepribadian dan kehidupan seorang anak.
    iii.            Lingkungan Sekolah
Setelah lingkungan bermain, tahap berikutnya dalam pendidikan adalah sekolah. Sekolah akan memberikan pengajaran melalui Guru pengajar yang dapat menstabilkan dan atau melengkapi apa yang sudah dipelajari seorang anak dalam lingkungan keluarga dan lingkungan bermain. Dilingkungan sekolah seorang anak akan diperketat dengan aturan-aturan yang harus ditaati. Mungkin ketika masih dilingkungan keluarga atau lingkungan bermain, seorang anak terkadang melakukan suatu tindakan yang tanpa memikirkan dampaknya, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena si anak mulai tidak memiliki rasa takut atau kurang peduli dengan orang-orang dilingkungan tersebut. Tetapi ketika memasuki lingkungan sekolah, seorang anak akan merasa enggan berbuat hal-hal yang demikian. Hal ini karena si anak memiliki rasa takut untuk berbuat salah sehingga akan tetap menjalankan aturan yang berlaku. Selain itu, di sekolah anak akan mendapat pendidikan yang akan membantunya dalam mencapai cita-citanya.
Sekolah akan memberikan ilmu pengetahuan yang belum atau bahkan tidak didapatkan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan bermain. Dengan ilmu pengetahuan yang memadai, maka seseorang akan dapat mencapai cita-citanya. Tetapi tidak jarang para pelajar dating kesekolah bukan lagi untuk menuntut ilmu sebagaimana yang sebenarnya dijadikan tujuan utamanya. Kita tentunya sudah banyak mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri tingkahlaku atau perbuatan para pelajar, baik dari tingkat dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK/SMEA) dan sebagainya, bahkan mahasiswa yang berbuat hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang terpelajar, seperti membunuh, merampok, memperkosa, mengonsumsi narkotika dan sejenisnya, tawuran, mengonsumsi minuman keras, balapan liar, pergaulan bebas dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi penulis.
Perbuatan seperti yang disebutkan diatas seharusnya dihilangkan dari diri/pribadi seorang pelajar. Penulis berpendapat bahwa pihak pengelola pendidikan (lembaga pendidikan) yang baik tidak akan ada yang mengajarkan hal-hal yang melanggar norma. Penulis berpendapat hal-hal yang melanggar norma atau aturan tersebut dilakukan oleh para kaum pelajar karena terpengaruh dari perkembangan zaman dan teknologi yang kian meningkat. Sehingga mereka yang melakukannya menganggap hal itu merupakan sebuah gaya hidup (life style) modern, dimana mereka akan menganggap seseorang (mungkin teman) sebagai seorang yang tidak bernyali ketika tidak ingin melakukannya, sehingga karena tidak mau dianggap demikian mereka pun ikut-ikutan.
Dalam mengantisipasi (mengatasi) terjadinya hal-hal yang melanggar norma dan nilai social tersebut, sangat dituntut kebijaksanaan dari pihak orangtua, teman, sekolah (lembaga pendidikan) dan pihak yang berwenang (kepolisian). Komponen-komponen tersebut sangat diharapkan untuk dapat membantu dalam mengatasi terjadinya penyimpangan social.
Ø      Orangtua
Orangtua yang bertingkahlaku baik terkadang dibalas dengan tingkahlaku yang tidak baik oleh anak-anaknya, bagaimana pula jika orangtua tidak bertingkahlaku yang baik? Orangtua harus mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya, maka orangtua seharusnya bertingkahlaku yang baik agar anak-anaknya juga menirunya. Pada masyarakat Batak Toba dikatakan bahwa “Dang Dao Tubis Sian Bonana, Molo Dao Dibuat Deba”, artinya “perilaku seorang anak tidak jauh beda dengan perilaku orangtuanya”.
Kontrol dan pengawasan dari orangtua sangatlah penting untuk menciptakan seorang anak yang peduli dengan nilai dan norma. Maka orangtua diharapkan mampu memberikan waktu yang banyak untuk anak-anaknya, seperti meluangkan waktu untuk berbicara dengan tenang bersama anak, menanyakan keadaan dan kelakuan anak dilingkungan sekolah maupun ketika bersama dengan teman-temannya. Saat ini tidak jarang lagi orangtua yang hamper tidak meluangkan waktunya untuk bersama-sama dengan anak-anaknya, terkadang orangtua beranggapan cukup hanya dengan memberikan materi (uang dan harta lainnya) kepada anak dan menitipkannya kepada orang lain (pembantu atau baby sitter dan sebagainya) maka anaknya akan aman-aman saja. Memang sekilas mungkin sianak akan aman, tetapi bahaya besar akan dilaluinya. Itulah perbuatan menyimpang seperti yang disebutkan sebelumnya. Maka dengan demikian, orangtua harus menyadari dan melaksanakan betapa pentingnya waktu bersama dengan anak, serta melakukan kontrol dan pengawasan terhadap anak-anaknya.
Ø      Teman
Terkadang teman bisa menjadi pihak yang lebih memahami dan didengarkan oleh seseorang daripada orangtunya. Maka seorang teman yang baik seharusnya membiasakan berbuat baik didepan teman-temannya, sehingga dia akan didengar dan diakui ketika dia melarang temannya untuk tidak berbuat hal-hal yang menyimpang. Namun terkadang teman sendiri pun sudah menjadi malapetaka besar bagi diri sendiri. Banyak tindakan yang menyimpang terjadi karena ajakan dan dipengaruhi oleh teman-teman sendiri.
Teman yang baik seharusnya memberikan pandangan kepada temannya agar tidak berbuat hal-hal yang melanggar norma dan nilai. Memang terkadang teman yang demikian akan dibalas dengan jawaban yang tidak baik, tetapi sebagai seorang teman yang baik, tidak bisa cepat menyerah dalam mempengaruhi temannya agar berbuat yang baik. Walaupun kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan.
Ø      Sekolah (lembaga pendidikan)
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang memiliki berbagai aturan dan norma yang harus dilakukan oleh para peserta didiknya. Sekolah beserta seluruh stafnya seharusnya memberikan teladan yang baik sesuai dengan norma atau aturan yang ada disekolah tersebut agar peserta didiknya pun berbuat demikian. Saat ini tidak sedikit pihak pengelola pendidikan yang tidak menekankan kedisiplinan terhadap norma. Banyak staf sekolah yang hanya berbicara tentang norma dan nilai sementara mereka pun tidak berbuat sesuai dengan norma dan nilai. Kalau demikian bagaimana peserta didik akan melaksanakannya? Bukan tidak mungkin peserta didik akan mengabaikannya.
Pihak sekolah harus mampu menjadi guru yang baik bagi seluruh peserta didiknya. Bukan hanya menasehati (berteori) tetapi harus juga membuktikannya. Selain itu sekolah juga dapat menyediakan berbagai unit kegiatan (kelompok kegiatan) yang dapat menampung para peserta didiknya agar tidak merasa bosan atau pun jenuh, melainkan agar memiliki semangat dan dorongan untuk berprestasi, sehingga tidak terpengaruh oleh lingkungan yang rentan dengan perilaku menyimpang. Dalam unit kegiatan tersebut peserta didik dapat menyalurkan bakat atau kemampuannya yang kemudian akan membuatnya bangga dan terus ingin meningkatkannya. Disamping itu, pihak sekolah juga dapat melakukan program pendidikan yang khusus untuk memperkuat kepribaian peserta didiknya, seperti melakukan seminar, diskusi maupun konseling.
Ø      Pihak yang berwenang (polisi)
Sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat, kepolisian seharusnya benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan social oleh para generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya, maka kepolisisan harus selalu siaga dan tidak pernah lelah untuk melaksanakan tugasnya. Dalam mengatasi terjadinya perilaku menyimpang, khususnya pada generasi muda (pelajar), kepolisisan dapat melakukan berbagai kebijakan. Seperti yang sudah pernah dilakukan diberbagai daerah yaitu razia kasih sayang. Hal lain yang mungkin dapat dilakukan adalah mengadakan semacam seminar atau pun dialog interaktif dengan berkunjung ke sekolah-sekolah. Hal penting lain adalah bahwa dalam tubuh kepolisisan harus dijauhkan hal-hal yang berbau diskriminasi (pembedaan), baik  dalam agama, ras, suku/etnis, latar belakang kebudayaan dan sejarah, dal sebagainya.
Komponen-komponen diatas dapat mempengaruhi kepribadian seseorang untuk berbuat sesuai dengan norma dan nila yang berlaku, tetapi inti utamanya adalah mereka (seluruh komponen tersebut) harus terlebih dahulu melaksanakannya, agar orang lain (sasarannya) mendengarkan dan melaksanakannya. Ada kata bijak mengatakan “sebelum anda mengatur diri orang lain, aturlah dulu diri anda”.
            Tujuan pendidikan adalah untuk menaikkan taraf hidup dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Maka pendidikan harus benar-benar dilakukan dengan desain yang sebaik mungkin. Salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu dan latarbelakang. Dengan kata lain keadilan harus diutamakan. Saat ini banyak anak-anak yang tidak sekolah dengan alas an tidak ada uang. Memang pemerintah telah mulai membuktikan kepeduliannya terhadap pendidikan, seperti: pemberian dana BOS, beasiswa dan sebagainya, tetapi sangat disayangkan kepedulian tersebut tidak dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bahkan yang sangat menyedihkan adalah anak orang kaya mendapatkannya, sementara anak orang kurang mampu tidak. Hal ini berarti tidak ada keadilan. Mungkin masalah ini terjadi karena perbuatan pihak pengelola pendidikan dilembaga pendidikan tertentu, tetapi ini merupakan kelemahan dan kelalaian pemerintah dan Dinas Pendidikan yang tidak memmperhatikan proses pendidikan disekolah-sekolah.
Untuk mencapai suatu tujuan yang telah kita buat (programkan) harus didukung dengan alat atau instrumen yang mendukung. Sekolah misalnya, instrumennya adalah sarana dan prasarana sekolah tersebut. Maka untuk mencapai visi lembaga pendidikan tersebut harus tersedia sarana dan prasarana yang mendukung dan mampu menjalankan misinya. Saat ini masih banyak lembaga pendidikan yang berada dibawah wewenang pemerintah tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Anehnya lagi, lebih lengkap sarana dan prasarana lembaga pendidikan (sekolah) yang dikelola oleh pihak swasta dibanding yang dikelola oleh pemerintah (negara). Saya pernah mendengar bahwa sekolah di sekolah swasta lebih pintar dan lebih disiplin dibanding sekolag di sekolah negeri, dan memang ucapan tersebut banyak yang terjadi. Dilembaga pendidikan yang dikelola swasta sangat ketat peraturannya, baik terhadap tenaga pengajar, pegawai dan juga peserta didiknya. Sedangkan disekolah yang dikelola pemerintah (negeri), seakan-akan peraturan tidak ada artinya, dan sangat jarang dilaksanakan.
Tidak jarang pihak-pihak yang berwenang di lembaga pendidikan tertentu menerapkan praktek KKN. Bentuk KKN tersebut antaralain adalah : korupsi dana pembangunan sekolah, kurupsi beasiswa, mengikut-sertakan keluarga atau anak kerabat (teman) dan seagama dan atau satu suku (etnis) dalam penerimaan beasiswa dan mempersulit urusan peserta didik yang lain yang hendak mengurus urusan beasiswa, egoisme (mementingkan diri sendiri dan tidak  sesui kesepakatan dengan peserta didik), kejadian semacam ini sering terjadi ditingkat Perguruan Tinggi, misalnya: seorang Dosen tidak bisa mengajar pada suatu saat sesuai dengan kesepakatan kontrak kuliah dengan mahasiswa karena alasan ada ururan tertentu, Dosen tersebut memberitahukannya saat pada hari matakuliah yang dibawakan akan diajarkan, dan tidak memberitahukan kapan jadwal gantinya. Ketika urusan Dosen tersebut selesai atau katika dosen tersebut memiliki waktu untuk mengajar, dosen tersebut memberitahukannya kepada mahasiswa pada hari itu juga dalam arti mahasiswa tidak ada persiapan untuk mengikuti perkuliahan tersebut dan atau mahasiswa memiliki urusan. Maka dengan adanya kejadian seperti ini, mahasiswa pasti akan merasa tidak terima dosen tersebut hanya memikirkan diri sendiri tidak memahami mahasiswanya. Tindakan seperti KKN tersebut lebih banyak dijumpai dilembaga pendidikan yang dikelola oleh pemerintah (negeri) dibanding lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta.
Peraturan dan sistem pendidikan yang mencakup kurikulum dibahas dan disahkan oleh pejabat negara (pemerintah) untuk kemudian diterapkan dilembaga pendidikan. Tetapi yang lebih melaksanakan peraturan dan sistem pendidikan tersebut adalah sekolah yang dikelola oleh swasta dibanding yang dikelola oleh pemerintah (negeri). Yang tidak kalah mengherankan adalah pemerintah yang terdiri dari berbegai departemen (lembaga/bidang) banyak yang membuka lembaga pendidikan masing-masing lembaga. Seperti: departemen keuangan dan perpajakan membuka lembaga pendidikan sendiri (misalnya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), departemen agama membuka lembaga pendidikan berbasis agama, departemen (menteri) dalam negeri membuka lembaga pendidikan sendiri (seperti  Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Jika pemerintah telah membuka lembaga pendidikan masing-masing departemen, maka generasi muda yang menuntuk ilmu di lembaga pendidikan lain akan menjadi sedikit kesempatannya dalam memperoleh lapangan pekerjaan, sehingga tidak jarang seorang sarjana bekerja bukan pada bidangnya atau bahkan menganggur. Saya berpendapat bahwa banyaknya sarjana yang menganggur adalah karena hal-hal demikian.
            Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila. Pacasila merupakan budaya bangsa Indonesia sehingga departemen pendidikan menjadikan Pancasila sebagai bahan pertimbangan (yang mempengaruhi) kurikulum pendidikan Indonesia. Saya berpendapat bahwa sepertinya pancasila tidak lagi dipandang sebagi dasar Negara tetapi hanya sebagai simbolis saja, dimana kita telah banyak menyaksikan kejadian di negara kita ini yang sangat berlawanan dengan isi pancasila tersebut. Sementara itu, pemerintah melalui departemen pendidikan membuat suatu tujuan akhir pendidikan secara nasional, yang salah satu diantaranya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan. Tetapi kenyataannya adalah malah pejabat yang sudah menyelesaikan pendidikannya ditingkat tertentu bahkan telah menyandang gelar Doktor tidak mencerminkan sikap dan perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional, dimana  begitu banyaknya pejabat yang melakukan tindakan KKN sementara orang lain (rakyat) terlantar.
Dari pengamatan saya terhadap pemerintahan Indonesia saat ini, saya berpendapat bahwa orang-orang bersekolah bukan untuk mencari keadilan dan kesejahteraan sekalipun sekolah dibidang hukum, melainkan untuk mencari harta kekayaan (uang).  Jika kita lihat berdasarkan kenyataan dinegara kita ini, orang-orang bersekolah tinggi-tinggi hanya untuk mencapai suatu tujuan yaitu agar bisa korupsi, tidak tergantung pada jurusan, dengan pengertian orang-orang bersekolah setingi-tinginya dengan tujuan agar mendapat suatu kedudukan yang tingi juga, sehingga bisa melakukan korupsi.


III. PENUTUP
Manusia memiliki akal dan budi yang dapat dikembangkan untuk dapat mempertahankan kehidupannya didunia ini. Pendidikan tidak hanya melalui sekolah, tetapi juga melalui pengalaman. Seseorang dapat belajar dari pengalamannya dalam kehidupan yang dilalui. Melalui pengalaman, seseorang akan mampu mengevaluasi dan menjadikan hasil evaluasinya sebagai pelajaran untuk masa yang akan datang. Itu sebabnya ada kata bijak mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling baik”. Tetapi pada saat zaman sekarang ini pendidikan sudah lebih banyak diperoleh dan dilakukan dilembaga pendidikan (formal maupun nonformal). Hal itu mungkin terjadi karena setiap lapangan pekerjaan selalu saja menanyakan tamatan setiap pelamar pekerjaan. Padahal tidak jarang terjadi, orang yang tidak memiliki sekolah yang tinggi memiliki Sumber Daya Manusia yang tinggi, begitu juga sebaliknya.
Lembaga pendidikan formal diantaranya adalah sekolah dan atau yayasan pendidikan yang terdiri dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT), sedangkan nonformal dapat berupa bimbingan belajar (privat), ekstra, dan sebaginya. Lembaga pendidikan formal (sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi) memiliki visi dan misi masing-masing yang dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan manusia yang memiliki sumber daya yang bagus.
Seharusnya tujuan akhir sebagai hasil dari pendidikan itu tidak menjadi senjata untuk berburu harta kekayaan dengan cara yang menghalalkan segala cara, meskipun melanggar nilai dan norma serta Hak Azasi Manusia, melainkan tujuan akhir dari pendidikan itu seharusnya menjadi senjata untuk menghadapi perkembangan zaman dan agar mampu bersaing secara sehat, juga untuk menegakkan keadilan, sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar