HAKIKAT PENDIDIKAN
Oleh
: GUNAWAN MANALU
NIM : 309122023
PENDIDIKAN ANTROPOLOGI
SOSIAL
I. Pendahuluan
Pendidikan
merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi kita insan
manusia. Pendidikan pasti dan
sangat diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pendidikan ini dialami oleh semua manusia dari semua golongan. Mungkin
banyak kalangan yang menganggap bahwa pendidikan hanya sebatas proses
belajar yang terjadi di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan saja.
Saya berpendapat bahwa anggapan tersebut masih kurang kompleks. Fakta
membuktikan bahwa pendidikan dapat kita peroleh dari berbagai tempat
atau dan cara. Seperti halnya para ilmuwan dan tokoh-tokoh atau ahli
dalam suatu penemuan. Thomas Alva Edison adalah salah satu ilmuwan dunia
yang mengalami banyak kegagalan dalam pekerjaannya untuk menghasilkan
cahaya melalui bola lampu, yang kita kenal dengan lampu pijar. Saya
pernah mengingat bahwa Thomas pernah bersekolah namun tidak begitu lama
dan hanya hitungan bulan karena dikeluarkan oleh Gurunya dengan alasan
sering tertinggal dan dianggap sebagai orang yang tidak memiliki bakat.
Sehingga Thomas belajar dirumah saja diajari oleh
Ibunya yang kebetulan saat itu berpropesi sebagai seorang Guru.
Sebenarnya Thomas memiliki kemauan yang cukup tinggi, hanya saja mungkin
Gurunya pada saat itu tidak mengetahuinya. Terbukti bahwa dalam
kehidupannya Thomas selalu ingin mencoba. Thomas menggunakan banyak
waktunya untuk melakukan percobaan mengenai suatu hal. Dalam
percobaannya, dia selalu mengalami kegagalan yang bahkan ratusan sampai
ribuan kali. Tapi walaupun gagal, dia selalu mempunyai cara atau metode
yang lain. Alhasil berkat semangat dan pengetahuan yang dimiliki, Thomas
pun berhasil menemukan lampu pijar.
Sebenarnya banyak penemuan yang dihasilkan oleh
tokoh dunia ini, tetapi yang paling terkenal adalah lampu pijar karena
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seluruh dunia. Perlu kita
ketahui bahwa Thomas tidak tergantung pada suatu tempat saja untuk
melakukan eksperimennya, melainkan diberbagai tempat yang memungkinkan
kelancaran proses eksperimennya tersebut. Dari kisah singkat itu dapat
kita mengerti bahwa pendidikan bukan hanya dapat kita peroleh dari
sekolah saja, tetapi juga dilingkungan alam semesta.
II. ISI dan PEMBAHASAN
Pendidikan berasal
dari bahasa Yunani, yaitu Paedos yang
berarti anak, dan agoge yang berarti memimpin. Jadi
secara etimologi, pendidikan berasal dari kata Paedagogia yang
mengandung arti memimpin dan atau membimbing anak.
Tahap pendidikan yang dijalani oleh seorang anak dapat diuraikan
sebagai berikut:
i. Lingkungan Keluarga
Pendidikan pertama dan
yang utama akan diporoleh oleh setiap individu dalam lingkungan
keluarga intinya. Dari sejak lahir, setiap individu telah mendapatkan
pendidikan yang istimewa dari kedua orang tua dan saudara kandung.
Pendidikan bukan hanya berarti menimba ilmu dilingkungan sekolah atau
instansi juga lembaga pendidikan formal saja, melainkan “Pendidikan
itu sesungguhnya adalah proses mempelajari dan mengetahui
apa yang sebelumnya diketahui tanpa tergantung pada suatu tempat atau
lokasi tertentu”. Dengan demikian pendidikan bukan hanya kita
dapatkan dari sekolah saja, tetapi juga dari keluarga, orang lain atau
teman, lingkungan sekitar dan masyarakat.
Dilingkungan keluarga, seorang anak akan mendapatkan banyak pendidikan,
baik dalam berbicara, rohani atau spiritual, bergaul, moral dan
tingkahlaku, norma, dan juga ilmu pengetahuan.
Sebelum seseorang terjun kedunia luar keluarganya, alangkah sangat
baiknya apabila telah dibekali dengan berbagai pendidikan dari dalam
keluarganya. Dengan demikian maka seseorang itu akan lebih mudah dalam
bersosialisasi dengan lingkuangan yang akan dihadapinya.
Dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba, pendidikan dikenal dengan istilah Pangajaron,
yang mengandung arti cukup luas, seperti : mengajarkan moral,
mengajarkan tingkahlaku, mengajarkan kesopanan, mengajarkan nilai-nilai,
mengajarkan ilmu pengetahuan, mengajarkan pengembangan bakat/minat,
menndidik agar tidak berbuat penyimpangan social, dan lain sebagainya.
Sehingga apabila ada seorang anak Batak Toba yang berbuat penyimpangan
social atau berbicara tidak sopan, orang lain akan berkata “Naso
diajari amangna do haroa i”, dengan kata lain “sepertinya dia tidak
diajari Bapaknya”. Dari contoh tersebut dapat kita menarik suatu
kesimpulan bahwa pendidikan moral dan tingkahlaku seorang anak bukan
didapat untuk pertamakalinya dari luar rumah tangga, tetapi dimulai dari
dalam keluarganya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa pendidikan pertama
dan yang utama diperoleh dari dalam keluarga.
ii. Lingkungan Teman Bermain (teman sebaya)
Setelah keluarga, agen
pendidikan berikutnya adalah teman bermain atau teman seusia. Dalam
lingkungan teman bermain, seorang anak akan mulai menghargai orang lain.
Biasanya seorang anak yang dididik secara mantap dalam keluarga akan
merasa rugi jika dia kehilangan teman bahkan akan menjaga sebaik mungkin
agar dia tidak kehilangan teman. Dilingkungan tersebut sang anak juga
akan mempelajari banyak hal yang dapat mengembangkan kognitif dan
afektifnya bahkan psikomotorignya. Seperti: seorang anak akan memikirkan
hal-hal yang dapat membuat teman-temannya senang kepadanya, maka dia
kan menghargai temannya, tidak menyakiti teman dan sebagainya. Dalam
lingkungan bermain, sekelompok anak akan membuat suatu aturan yang tidak
bisa dilanggar oleh anggota kelompoknya, apabila dilanggar maka akan
diberikan hukuman. Dari situ anak akan belajar menghargai dan
menjalankan aturan dan akan bertingkahlaku sesuai aturan. Seorang anak
yang tidak menginginkan kehilangan teman akan berusaha agar temannya
menyenanginya. Maka tidak jarang seorang anak akan meminta kepada orang
tuanya, atau bahkan mungkin membuat sendiri mainan yang dapat digunakan
untuk menghibur teman-temannya.
Namun tidak sedikit juga anak-anak yang suka
menciptakan keributan dalam kelompok teman sebayanya. Saya berpendapat
hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh anak yang sering
menyaksikan pertengkaran antara kedua orangtuanya dan atau kakaknya,
pengawasan yang tidak maksimal dari orangtua, seperti membiarkan atau
tidak mencegah agar anaknya menonton film yang menayangkan adegan-adegan
yang seharusnya ditonton oleh orang dewasa (film yang menayangkan
adegan perang, mafia/perampok, pemberontakan, dan sebagainya), orangtua
yang tidak serius dalam mendidik anak, misalnya: orangtua yang hanya
memberikan waktu yang minim untuk bersama anak-anaknya, dan lain
sebagainya. Maka dengan demikian tidak dapat disangkal lagi bahwa
orangtua sangat berpengaruh dalam kepribadian dan kehidupan seorang
anak.
iii. Lingkungan
Sekolah
Setelah
lingkungan bermain, tahap berikutnya dalam pendidikan adalah sekolah.
Sekolah akan memberikan pengajaran melalui Guru pengajar yang dapat
menstabilkan dan atau melengkapi apa yang sudah dipelajari seorang anak
dalam lingkungan keluarga dan lingkungan bermain. Dilingkungan sekolah
seorang anak akan diperketat dengan aturan-aturan yang harus ditaati.
Mungkin ketika masih dilingkungan keluarga atau lingkungan bermain,
seorang anak terkadang melakukan suatu tindakan yang tanpa memikirkan
dampaknya, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Hal ini bisa
saja terjadi karena si anak mulai tidak memiliki rasa takut atau kurang
peduli dengan orang-orang dilingkungan tersebut. Tetapi ketika memasuki
lingkungan sekolah, seorang anak akan merasa enggan berbuat hal-hal yang
demikian. Hal ini karena si anak memiliki rasa takut untuk berbuat
salah sehingga akan tetap menjalankan aturan yang berlaku. Selain itu,
di sekolah anak akan mendapat pendidikan yang akan membantunya dalam
mencapai cita-citanya.
Sekolah akan memberikan ilmu pengetahuan yang belum
atau bahkan tidak didapatkan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan
bermain. Dengan ilmu pengetahuan yang memadai, maka seseorang akan dapat
mencapai cita-citanya. Tetapi tidak jarang para pelajar dating
kesekolah bukan lagi untuk menuntut ilmu sebagaimana yang sebenarnya
dijadikan tujuan utamanya. Kita tentunya sudah banyak mendengar atau
bahkan menyaksikan sendiri tingkahlaku atau perbuatan para pelajar, baik
dari tingkat dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP),
Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK/SMEA) dan sebagainya, bahkan mahasiswa
yang berbuat hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang
terpelajar, seperti membunuh, merampok, memperkosa, mengonsumsi
narkotika dan sejenisnya, tawuran, mengonsumsi minuman keras, balapan
liar, pergaulan bebas dan lain sebagainya. Mengapa demikian? Hal ini
menjadi pertanyaan besar bagi penulis.
Perbuatan seperti yang
disebutkan diatas seharusnya dihilangkan dari diri/pribadi seorang
pelajar. Penulis berpendapat bahwa pihak pengelola pendidikan (lembaga
pendidikan) yang baik tidak akan ada yang mengajarkan hal-hal yang
melanggar norma. Penulis berpendapat hal-hal yang melanggar norma atau
aturan tersebut dilakukan oleh para kaum pelajar karena terpengaruh dari
perkembangan zaman dan teknologi yang kian meningkat. Sehingga mereka
yang melakukannya menganggap hal itu merupakan sebuah gaya hidup (life
style) modern, dimana mereka akan menganggap seseorang (mungkin teman)
sebagai seorang yang tidak bernyali ketika tidak ingin melakukannya,
sehingga karena tidak mau dianggap demikian mereka pun ikut-ikutan.
Dalam mengantisipasi
(mengatasi) terjadinya hal-hal yang melanggar norma dan nilai social
tersebut, sangat dituntut kebijaksanaan dari pihak orangtua, teman,
sekolah (lembaga pendidikan) dan pihak yang berwenang (kepolisian).
Komponen-komponen tersebut sangat diharapkan untuk dapat membantu dalam
mengatasi terjadinya penyimpangan social.
Ø Orangtua
Orangtua yang bertingkahlaku baik terkadang dibalas
dengan tingkahlaku yang tidak baik oleh anak-anaknya, bagaimana pula
jika orangtua tidak bertingkahlaku yang baik? Orangtua harus mampu
menjadi teladan bagi anak-anaknya, maka orangtua seharusnya
bertingkahlaku yang baik agar anak-anaknya juga menirunya. Pada
masyarakat Batak Toba dikatakan bahwa “Dang Dao Tubis Sian
Bonana, Molo Dao Dibuat Deba”, artinya “perilaku
seorang anak tidak jauh beda dengan perilaku orangtuanya”.
Kontrol dan pengawasan
dari orangtua sangatlah penting untuk menciptakan seorang anak yang
peduli dengan nilai dan norma. Maka orangtua diharapkan mampu memberikan
waktu yang banyak untuk anak-anaknya, seperti meluangkan waktu untuk
berbicara dengan tenang bersama anak, menanyakan keadaan dan kelakuan
anak dilingkungan sekolah maupun ketika bersama dengan teman-temannya.
Saat ini tidak jarang lagi orangtua yang hamper tidak meluangkan
waktunya untuk bersama-sama dengan anak-anaknya, terkadang orangtua
beranggapan cukup hanya dengan memberikan materi (uang dan harta
lainnya) kepada anak dan menitipkannya kepada orang lain (pembantu atau
baby sitter dan sebagainya) maka anaknya akan aman-aman saja. Memang
sekilas mungkin sianak akan aman, tetapi bahaya besar akan dilaluinya.
Itulah perbuatan menyimpang seperti yang disebutkan sebelumnya. Maka
dengan demikian, orangtua harus menyadari dan melaksanakan betapa
pentingnya waktu bersama dengan anak, serta melakukan kontrol dan
pengawasan terhadap anak-anaknya.
Ø Teman
Terkadang teman bisa menjadi pihak yang lebih
memahami dan didengarkan oleh seseorang daripada orangtunya. Maka
seorang teman yang baik seharusnya membiasakan berbuat baik didepan
teman-temannya, sehingga dia akan didengar dan diakui ketika dia
melarang temannya untuk tidak berbuat hal-hal yang menyimpang. Namun
terkadang teman sendiri pun sudah menjadi malapetaka besar bagi diri
sendiri. Banyak tindakan yang menyimpang terjadi karena ajakan dan
dipengaruhi oleh teman-teman sendiri.
Teman yang baik seharusnya memberikan pandangan
kepada temannya agar tidak berbuat hal-hal yang melanggar norma dan
nilai. Memang terkadang teman yang demikian akan dibalas dengan jawaban
yang tidak baik, tetapi sebagai seorang teman yang baik, tidak bisa
cepat menyerah dalam mempengaruhi temannya agar berbuat yang baik.
Walaupun kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan.
Ø Sekolah (lembaga pendidikan)
Sekolah merupakan
lembaga pendidikan formal yang memiliki berbagai aturan dan norma yang
harus dilakukan oleh para peserta didiknya. Sekolah beserta seluruh
stafnya seharusnya memberikan teladan yang baik sesuai dengan norma atau
aturan yang ada disekolah tersebut agar peserta didiknya pun berbuat
demikian. Saat ini tidak sedikit pihak pengelola pendidikan yang tidak
menekankan kedisiplinan terhadap norma. Banyak staf sekolah yang hanya
berbicara tentang norma dan nilai sementara mereka pun tidak berbuat
sesuai dengan norma dan nilai. Kalau demikian bagaimana peserta didik
akan melaksanakannya? Bukan tidak mungkin peserta didik akan
mengabaikannya.
Pihak
sekolah harus mampu menjadi guru yang baik bagi seluruh peserta
didiknya. Bukan hanya menasehati (berteori) tetapi harus juga
membuktikannya. Selain itu sekolah juga dapat menyediakan berbagai unit
kegiatan (kelompok kegiatan) yang dapat menampung para peserta didiknya
agar tidak merasa bosan atau pun jenuh, melainkan agar memiliki semangat
dan dorongan untuk berprestasi, sehingga tidak terpengaruh oleh
lingkungan yang rentan dengan perilaku menyimpang. Dalam unit kegiatan
tersebut peserta didik dapat menyalurkan bakat atau kemampuannya yang
kemudian akan membuatnya bangga dan terus ingin meningkatkannya.
Disamping itu, pihak sekolah juga dapat melakukan program pendidikan
yang khusus untuk memperkuat kepribaian peserta didiknya, seperti
melakukan seminar, diskusi maupun konseling.
Ø Pihak yang berwenang (polisi)
Sebagai penegak hukum
dan pelindung masyarakat, kepolisian seharusnya benar-benar melaksanakan
tugasnya dengan baik. Untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan
social oleh para generasi muda khususnya dan masyarakat umumnya, maka
kepolisisan harus selalu siaga dan tidak pernah lelah untuk melaksanakan
tugasnya. Dalam mengatasi terjadinya perilaku menyimpang, khususnya
pada generasi muda (pelajar), kepolisisan dapat melakukan berbagai
kebijakan. Seperti yang sudah pernah dilakukan diberbagai daerah yaitu
razia kasih sayang. Hal lain yang mungkin dapat dilakukan adalah
mengadakan semacam seminar atau pun dialog interaktif dengan berkunjung
ke sekolah-sekolah. Hal penting lain adalah bahwa dalam tubuh
kepolisisan harus dijauhkan hal-hal yang berbau diskriminasi
(pembedaan), baik dalam agama, ras, suku/etnis,
latar belakang kebudayaan dan sejarah, dal sebagainya.
Komponen-komponen
diatas dapat mempengaruhi kepribadian seseorang untuk berbuat sesuai
dengan norma dan nila yang berlaku, tetapi inti utamanya adalah mereka
(seluruh komponen tersebut) harus terlebih dahulu melaksanakannya, agar
orang lain (sasarannya) mendengarkan dan melaksanakannya. Ada kata bijak
mengatakan “sebelum anda mengatur diri orang lain, aturlah dulu diri
anda”.
Tujuan pendidikan adalah untuk menaikkan taraf hidup dan
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Maka pendidikan harus
benar-benar dilakukan dengan desain yang sebaik mungkin. Salah satu
unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu
dan latarbelakang. Dengan kata lain keadilan harus diutamakan. Saat ini
banyak anak-anak yang tidak sekolah dengan alas an tidak ada uang.
Memang pemerintah telah mulai membuktikan kepeduliannya terhadap
pendidikan, seperti: pemberian dana BOS, beasiswa dan sebagainya, tetapi
sangat disayangkan kepedulian tersebut tidak dirasakan oleh seluruh
masyarakat. Bahkan yang sangat menyedihkan adalah anak orang kaya
mendapatkannya, sementara anak orang kurang mampu tidak. Hal ini berarti
tidak ada keadilan. Mungkin masalah ini terjadi
karena perbuatan pihak pengelola pendidikan dilembaga pendidikan
tertentu, tetapi ini merupakan kelemahan dan kelalaian pemerintah dan
Dinas Pendidikan yang tidak memmperhatikan proses pendidikan
disekolah-sekolah.
Untuk mencapai suatu tujuan yang telah
kita buat (programkan) harus didukung dengan alat atau instrumen yang
mendukung. Sekolah misalnya, instrumennya adalah
sarana dan prasarana sekolah tersebut. Maka untuk mencapai visi lembaga
pendidikan tersebut harus tersedia sarana dan prasarana yang mendukung
dan mampu menjalankan misinya. Saat ini masih banyak lembaga pendidikan
yang berada dibawah wewenang pemerintah tidak memiliki sarana dan
prasarana yang memadai. Anehnya lagi, lebih lengkap sarana dan prasarana
lembaga pendidikan (sekolah) yang dikelola oleh pihak swasta dibanding
yang dikelola oleh pemerintah (negara). Saya pernah mendengar bahwa
sekolah di sekolah swasta lebih pintar dan lebih disiplin dibanding
sekolag di sekolah negeri, dan memang ucapan tersebut banyak yang
terjadi. Dilembaga pendidikan yang dikelola swasta sangat ketat
peraturannya, baik terhadap tenaga pengajar, pegawai dan juga peserta
didiknya. Sedangkan disekolah yang dikelola pemerintah (negeri),
seakan-akan peraturan tidak ada artinya, dan sangat jarang dilaksanakan.
Tidak jarang
pihak-pihak yang berwenang di lembaga pendidikan tertentu menerapkan
praktek KKN. Bentuk KKN tersebut antaralain adalah : korupsi dana
pembangunan sekolah, kurupsi beasiswa, mengikut-sertakan keluarga atau
anak kerabat (teman) dan seagama dan atau satu suku (etnis) dalam
penerimaan beasiswa dan mempersulit urusan peserta didik yang lain yang
hendak mengurus urusan beasiswa, egoisme (mementingkan diri sendiri dan
tidak sesui kesepakatan dengan peserta didik),
kejadian semacam ini sering terjadi ditingkat Perguruan Tinggi,
misalnya: seorang Dosen tidak bisa mengajar pada suatu saat sesuai
dengan kesepakatan kontrak kuliah dengan mahasiswa karena alasan ada
ururan tertentu, Dosen tersebut memberitahukannya saat pada hari
matakuliah yang dibawakan akan diajarkan, dan tidak memberitahukan kapan
jadwal gantinya. Ketika urusan Dosen tersebut selesai atau katika dosen
tersebut memiliki waktu untuk mengajar, dosen tersebut
memberitahukannya kepada mahasiswa pada hari itu juga dalam arti
mahasiswa tidak ada persiapan untuk mengikuti perkuliahan tersebut dan
atau mahasiswa memiliki urusan. Maka dengan adanya kejadian seperti ini,
mahasiswa pasti akan merasa tidak terima dosen tersebut hanya
memikirkan diri sendiri tidak memahami mahasiswanya. Tindakan seperti
KKN tersebut lebih banyak dijumpai dilembaga pendidikan yang dikelola
oleh pemerintah (negeri) dibanding lembaga pendidikan yang dikelola oleh
swasta.
Peraturan dan sistem pendidikan yang mencakup kurikulum
dibahas dan disahkan oleh pejabat negara (pemerintah) untuk kemudian
diterapkan dilembaga pendidikan. Tetapi yang lebih melaksanakan
peraturan dan sistem pendidikan tersebut adalah sekolah yang dikelola
oleh swasta dibanding yang dikelola oleh pemerintah (negeri). Yang tidak
kalah mengherankan adalah pemerintah yang terdiri dari berbegai
departemen (lembaga/bidang) banyak yang membuka lembaga pendidikan
masing-masing lembaga. Seperti: departemen keuangan dan perpajakan
membuka lembaga pendidikan sendiri (misalnya Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara), departemen agama membuka lembaga pendidikan berbasis agama,
departemen (menteri) dalam negeri membuka lembaga pendidikan sendiri
(seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri).
Jika pemerintah telah membuka lembaga pendidikan masing-masing
departemen, maka generasi muda yang menuntuk ilmu di lembaga pendidikan
lain akan menjadi sedikit kesempatannya dalam memperoleh lapangan
pekerjaan, sehingga tidak jarang seorang sarjana bekerja bukan pada
bidangnya atau bahkan menganggur. Saya berpendapat bahwa banyaknya
sarjana yang menganggur adalah karena hal-hal demikian.
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan pancasila. Pacasila merupakan budaya
bangsa Indonesia sehingga departemen pendidikan menjadikan Pancasila
sebagai bahan pertimbangan (yang mempengaruhi) kurikulum pendidikan
Indonesia. Saya berpendapat bahwa sepertinya pancasila tidak lagi
dipandang sebagi dasar Negara tetapi hanya sebagai simbolis saja, dimana
kita telah banyak menyaksikan kejadian di negara kita ini yang sangat
berlawanan dengan isi pancasila tersebut. Sementara itu, pemerintah
melalui departemen pendidikan membuat suatu tujuan akhir pendidikan
secara nasional, yang salah satu diantaranya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan. Tetapi kenyataannya adalah malah pejabat yang sudah
menyelesaikan pendidikannya ditingkat tertentu bahkan telah menyandang
gelar Doktor tidak mencerminkan sikap dan perbuatan sebagaimana yang
disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional, dimana begitu
banyaknya pejabat yang melakukan tindakan KKN sementara orang lain
(rakyat) terlantar.
Dari pengamatan saya terhadap pemerintahan
Indonesia saat ini, saya berpendapat bahwa orang-orang bersekolah bukan
untuk mencari keadilan dan kesejahteraan sekalipun sekolah dibidang
hukum, melainkan untuk mencari harta kekayaan (uang). Jika kita lihat
berdasarkan kenyataan dinegara kita ini, orang-orang bersekolah
tinggi-tinggi hanya untuk mencapai suatu tujuan yaitu “agar bisa korupsi”, tidak tergantung pada
jurusan, dengan pengertian orang-orang bersekolah setingi-tinginya dengan tujuan agar mendapat suatu kedudukan yang tingi juga, sehingga
bisa melakukan korupsi.
III. PENUTUP
Manusia memiliki akal dan budi yang dapat
dikembangkan untuk dapat mempertahankan kehidupannya didunia ini.
Pendidikan tidak hanya melalui sekolah, tetapi juga melalui pengalaman.
Seseorang dapat belajar dari pengalamannya dalam kehidupan yang dilalui.
Melalui pengalaman, seseorang akan mampu mengevaluasi dan menjadikan
hasil evaluasinya sebagai pelajaran untuk masa yang akan datang. Itu
sebabnya ada kata bijak mengatakan “pengalaman adalah guru yang paling
baik”. Tetapi pada saat zaman sekarang ini pendidikan sudah lebih banyak
diperoleh dan dilakukan dilembaga pendidikan (formal maupun nonformal).
Hal itu mungkin terjadi karena
setiap lapangan pekerjaan selalu saja menanyakan tamatan setiap pelamar
pekerjaan. Padahal tidak jarang terjadi, orang yang tidak memiliki
sekolah yang tinggi memiliki Sumber Daya Manusia yang tinggi, begitu
juga sebaliknya.
Lembaga pendidikan formal diantaranya adalah sekolah dan atau
yayasan pendidikan yang terdiri dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai
Perguruan Tinggi (PT), sedangkan nonformal dapat berupa bimbingan
belajar (privat), ekstra, dan sebaginya. Lembaga pendidikan
formal (sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi) memiliki visi dan misi
masing-masing yang dirancang sedemikian rupa untuk menciptakan manusia
yang memiliki sumber daya yang bagus.
Seharusnya tujuan
akhir sebagai hasil dari pendidikan itu tidak menjadi senjata untuk
berburu harta kekayaan dengan cara yang menghalalkan segala cara,
meskipun melanggar nilai dan norma serta Hak Azasi Manusia, melainkan tujuan akhir dari pendidikan itu seharusnya menjadi senjata
untuk menghadapi perkembangan zaman dan agar mampu bersaing secara
sehat, juga untuk menegakkan keadilan, sehingga tercipta masyarakat yang
adil dan makmur.